Artikel

Butuh Titel Master untuk Eliminasi Pesaing

JAKARTA – Kualifikasi pendidikan menjadi salah satu hal yang paling dilihat dalam proses perekrutan kerja. Ketika jumlah lulusan sarjana semakin meningkat, otomatis persaingan di jenjang tersebut akan semakin ketat. Alhasil, perusahaan mulai memilih kandidat dengan pendidikan lebih tinggi, seperti master.

Fenomena tersebut rupanya sudah terjadi di Amerika Serikat (AS). Berdasarkan survei terbaru dari CareerBuilding, 27 persen perekrut di AS mulai mencari lulusan S-2 untuk posisi yang biasanya ditempati oleh sarjana. Dengan demikian, Indonesia patut bersiap diri, terutama dengan masuknya tenaga kerja asing sebagai dampak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Menanggapi tren tersebut, Rektor Universitas Tarumanagara (Untar), Profesor Ir Roesdiman Soegiarso, M.Sc, Ph.D, berpendapat secara umum pendidikan S-1 di Indonesia masih kurang untuk terapan dan praktik. Sehingga, lulusan bertitel sarjana butuh sertifikat pendamping.

“S-1 harus dibarengi dengan sertifikat untuk mengkualifikasi bidangnya. Saat ini pemerintah sepertinya sudah mengeluarkan, tetapi pelaksanaannya memang belum. Sehingga, fakta yang terjadi gelar S-2 dipakai untuk mengurangi saingan,” tuturnya saat berbincang dengan Okezone di Kampus Untar, belum lama ini.

Roesdiman menjelaskan, gelar master tak melulu menjamin kualitas pendidikan seseorang. Apalagi saat ini banyak orang yang mengambil S-2 sembari kerja. Padahal jika dilakukan secara full time, kuliah S-2 butuh tenaga ekstra.

“S-2 itu tuntutan dangat tinggi, dikerjakan full time saja bisa stres. Tetapi kualifikasi pendidikan master ini ampuh untuk mengeliminasi kompetitor, terlepas dari gelar yang sama, mutu standar orang berbeda-beda,” ucapnya.

Lulusan doktor dari Ohio State University AS itu menyebut, permintaan pasar akan gelar S-2 semakin tinggi. Bahkan untuk bekerja di pemerintahan butuh gelar S-3 guna mendapat jenjang karier yang baik. Menurut dia, titel ijazah masih sangat penting di kalangan perekrut Tanah Air.

“Ini fakta yang harus dihadapi. Tetapi, saya juga tak bisa mengeneralisasikan kualitsa S-2 di Indonesia kurang. Karena setiap orang itu punya motivasi berbeda mengapa mereka lanjut studi. Ada yang karena ingin jadi dosen, atau ada juga yang memang ingin belajar untuk mendalami bidang,” ujarnya.

Sedangkan untuk menambah pengetahuan, imbuh Roesdiman, sebenarnya di zaman digital sekarang setiap orang tak butuh universitas. Pasalnya, informasi bisa diakses dengan mudah di internet. Sehingga, semua oranng bisa belajar autodidak.

“Di internet, Google, itu informasi unlimited. Pelatihan online dari universitas luar negeri juga bisa diakses, tinggal bagaimana memanfaatkannya,” tutupnya. (ira)

(rfa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *