Pengaruhi Budaya Asia Tenggara
KEDIRI KABUPATEN– Napak tilas dan refleksi Panji Nusantara menjadi perbincangan hangat dalam rangkaian Hari Jadi Kabupaten Kediri ke-1212. Digelar di basement Simpang Lima Gumul (SLG), Minggu malam (27/3), acara yang digelar dinas kebudayaan dan pariwisata (disbudpar) ini menghadirkan antropolog Dwi Cahyono; penulis cerita Panji, Henry Nurcahyo; dan Ki Hardjito, praktisi seni dalang wayang krucil.
Kepala Disbudpar Kabupaten Kediri Sampurno mengatakan, kegiatan ini mewadahi apresiasi seniman dan budayawan. Mereka mengulas kembali makna Panji Pulang Kampung.
Harapannya, tahun depan budaya Panji bisa tampil sebagai bentuk perhatian Pemkab Kediri melestarikan budaya. “Ya acara sederhana ini sebagai preview karya budaya Panji,” ucapnya.
Sekitar pukul 20.00 acara dibuka oleh tiga penari yang menampilkan tarian Panji kontemporer dengan latar lukisan cerita Cindelaras. Setelah itu, ada pemaparan makna Panji Pulang Kampung.
Antropolog yang juga dosen Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono melontarkan pertanyaan mengapa tema harus Panji Pulang Kampung? Untuk apa pulang kampung? Dia menegaskan, tidak ada keinginan klaim budaya Panji. Sebab ada nuansa lokal dan kultural saat mengangkat tema itu.
Menurut Dwi, bernuansa lokal karena mengeksplorasi seni budaya. Baik seni sastra maupun pertunjukan. Tujuannya, sebagai sarana lebih memahami jati diri daerah dengan edukatif dan rekreatif. Dengan membuat karya tulis Wayang Beber, kemudian lawatan situs menjadi bekal pemahaman jejak Panji.
Selain itu, lanjut Dwi, juga membaca relief situs untuk memahami historis arkeologis. Sasarannya adalah anak muda yang melibatkan siswa SMA se-Kabupaten Kediri. Dia menjelaskan ada nuansa arkhais. Ini disebabkan subjek seni-budayanya merupakan budaya masa lampau. “Yakni ragam ekspresi Budaya Panji yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-11 hingga 16 M dan transformasinya ke masa-masa berikutnya,” paparnya.
Makanya, Dwi menganggap, alasan memulangkan budaya Panji tak lepas dari latar sejarah atau historical setting dari setiap kisah Panji. Kabupaten Kediri memiliki ragam anasir budaya Panji. “Dalam seni sastra baik tekstual, oral maupun visual,” katanya. Ada pula seni pertunjukan maupun eko-kultural yang bisa dijumpai jejaknya di Kabupaten Kediri.
Terakhir, bagi Dwi, harus ada komitmen pemkab dan masyarakat Kediri untuk merevitalisasi budaya Panji. Dengan begitu bukanlah hal yang mengada-ada bila budaya Panji dibumikan kembali. “Bhumi Kadiri (Karesidenan Kediri, Red) adalah ‘maqom’ bagi Budaya Panji,” ucap pria berperawakan kurus ini seraya menyebut manfaat budya Panji beserta multiaspek mulai dari politik, militer, birokrasi, kesenian maupun religius.
Henry Nurcahyo menyoroti perkembangan budaya Panji. Mulai dari pengenalan ke anak muda hingga tantangan terhadap gempuran seni modern. “Benteng terakhir untuk melestarikan budaya Panji adalah dengan seni pertunjukan rakyat,” tegas penulis buku Memahami Budaya Panji ini.
Henry mengaku, sulit mencari naskah atau sumber tulis yang mampu menceritakan Panji secara matang. Ada satu buku yang ia anggap cukup lengkap namun terbatas pembahasannya. Yakni ‘Tjerita Pandji dalam Perbandingan’ yang ditulis Prof DR RM NG Poerbat. “Sayang tidak begitu mendalam, banyak cerita yang tertuang di dalam buku tersebut,” katanya.
Henry menyebut, beberapa poin keistimewaan Panji. Yakni, kejeniusan dan kreativitas para pujangga Jawa kuno yang mengambil tema dan lokasi cerita di Tanah Jawa. Ceritanya tidak terpengaruh asing, namun mampu memberi pengaruh kebudayaan di Asia Tenggara. “Menjelaskan peradaban masyarakat Jawa Kuno antara abad ke 14-15 dan merupakan dokumentasi sejarah kebudayaan di Asia Tenggara,” jelasnya.
Terakhir adalah nilai universal yang menjadi acuan kepahlawanan, penghargaan kemanusiaan, mengetengahkan etika pergaulan, dan diplomasi pergaulan. Karena itu budaya Panji tetap menarik dipahami dan dipelajari lebih mendalam.(rq/ndr)